Article Detail

Seribu Anak Bangsa Merantau Untuk Kembali

Indonesia merupakan negara yang sangat beragam. Hal tersebutlah yang membuat saya ingin mendaftarkan diri untuk mengikuti program Sabang Merauke pada kala itu. Saya ingin berkenalan dan mempunyai teman baru yang beragam. Bukan hanya itu, saya juga ingin mengalami langsung toleransi yang selama ini saya ‘temui’ dalam pembelajaran PPKN. Sabang Merauke sendiri merupakan program pertukaran pelajar antar daerah yang berupaya membuka cakrawala anak-anak Indonesia, untuk menjadi pribadi yang berpikiran terbuka, memahami arti penting pendidikan, dan menghargai keberagaman sebagai hal yang positif demi terciptanya kehidupan damai dan penuh toleransi. Selanjutnya hal tersebut dirumuskan ke dalam Tiga Nilai SabangMerauke, yaitu Toleransi, Pendidikan dan ke-Indonesia-an. Sabang Merauke juga mempunyai tiga pilar utama, yaitu ASM (Adik Sabang Merauke), KSM(Kakak Sabang Merauke), FSM(Famili Sabang Merauke), serta kakak kakak relawan. Selain mempunyai arti keadaan geografis Indonesia, Sabang Merauke juga berarti Seribu Anak Bangsa Merantau Untuk Kembali.

Selama di Jakarta, saya pun tinggal bersama keluarga angkat saya  yang beragama Hindu, yaitu Ayah Nyoman & Bunda Puspa. Selama kegiatan, saya pun juga selalu ditemani oleh Kakak Sabang Merauke yang berbeda suku dengan saya, yaitu Kak Claudia. Awalnya, ada rasa khawatir dalam benak saya sebelum berangkat ditambah lagi isu-isu ‘penjualan anak’ yang sempat marak akhir - akhri ini, tetapi ternyata hal itu salah besar. Hal tersebut hanya kekhawatiran saya semata saja. Keluarga angkat saya yang berbeda agama tersebut menyambut saya dengan senyum yang ceria di kala hari pertama bertatap muka ketika orientasi di Kemendikbud.

            Rasa kecanggungan dengan teman teman, kakak-kakak, serta keluarga pasti ada, karena itu merupakan sifat alami seorang manusia. Seiring berjalannya waktu, rasa kecanggungan itu hilang. Kami bahkan merasa telah saling berkenalan bertahun tahun. Nilai nilai Sabang Merauke yang sudah saya jelaskan tadi pun menjadi tema untuk setiap minggu program kegiatan. Minggu pertama bertemakan toleransi. Kami pergi ke Taman Suropati (penajaman indera bersama Kak Novi), Lembaga Eijkman, Gereja St. Maria de Fatima, Vihara Toa Se Bio, Gereja Sion, Pura Aditya Jaya, Masjid Istiqlal, Monas, Museum Proklamasi, dan Universitas Podomoro. Untuk pertama kalinya, pada minggu itu, dihari pertama, saya memasuki Masjid Agung Sunda Kelapa di Jakarta dikarenakan pada saat itu adalah jadwal shalat Dhuhur bagi umat muslim. Awalnya, saya agak ragu untuk memasuki masjid tersebut karena saya adalah seorang Non Muslim yang beragama Kristen Katolik. Untungnya, teman teman saya yang beragama muslim pun meyakinkan saya.  Sama halnya ketika kami mengunjungi tempat ibadah lainnya. Ternyata, arsitek  Masjid Istiqlal sendiri adalah F. Silaban yang merupakan non Muslim. Sungguh, Indonesia sangat beragam, ya. Di Lembaga Eijkman pun kami juga dijelaskan bahwa semua orang Indonesia merupakan keturunan Afrika. Tidak ada gen yang murni. Istilah pribumi dan non pribumi hanya lah sebuah istilah yang dibuat Belanda untuk memecah belah bangsa Indonesia. Sesuai dengan prinsip Belanda ‘Devide Et Impera’, yang berarti memecah belah untuk menguasai. Di Museum Proklamasi kami juga bertemu Eyang Supomo. Beliau merupakan salah satu veteran  yang berjuang dalam Perang Laut Arafuru. Kami juga diberi banyak motivasi oleh Eyang Supomo.

            Memasuki minggu kedua yang bertemakan pendidikan, kami mengunjungi LPDP, Bank BTPN, Museum Tekstil, Perpustakaan Kemendikbud(untuk belajar bersama kakak kakak KEMUDI dan mengadakan Press Conference), dan ke Intel. Kami pun menjadi lebih termotivasi untuk sekolah setinggi tingginya. Di Intel kami belajar bagaimana cara memprogram SmartLighting dan penggunaan sensor gerak.  Kami juga belajar bagaimana cara beretika di sosial media dengan baik dan benar oleh kakak kakak KEMUDI. 

            Memasuki Minggu ketiga yang bertemakan Ke-Indonesiaan, kami pun berkunjung ke Studio Sidharta, Taman Rpetra Nias Kelapa Gading (berkenalan serta bertemu teman teman Special Olympics Indonesia), Universitas Binus, The Habibie Center. Ketika bertemu teman teman Special Olympics, saya jadi belajar bahwa Indonesia bukan hanya beragam dari segi suku, RAS, budaya, dan agama saja. Saya juga belajar bahwa kekurangan adalah kelebihan yang tertunda. Dibalik kekurangan tersebut, ada segudang prestasi yang mereka miliki. Di hari terakhir kegiatan kami pun bertemu dengan Eyang Habibie, yang merupakan presiden RI ketiga di Indonesia. Jujur, tubuh saya bergetar kala itu. Di benak saya selalu terngiang perkataan Eyang bahwa kita harus menjadi sumber daya manusia yang terbarukan. Banyak sekali motivasi yang Eyang berikan kepada kami. Sungguh, penutup rangkaian kegiatan tiga minggu yang sangat istimewa.

            Setiap di penghujung kegiatan, kami juga merefleksikan diri tentang hal hal yang kami dapatkan pada hari itu. Kegiatan di hari Sabtu dan Minggu diberi tema Family Day. Di hari pertama family day saya, saya pun diajak FSM saya untuk ke Pura. Saya pun melihat langsung bagaimana tata cara ibadah umat agama Hindu.

            Selama tiga minggu, banyak pengalaman serta pelajaran hidup yang saya dapatkan. Saya juga membenarkan tagline Sabang Merauke yaitu “karena toleransi tidak bisa hanya diajarkan, toleransi harus dialami dan dirasakan”. Kita harus mengalami toleransi tersebut untuk tahu apa arti sebenarnya dari toleransi itu. Seharusnya, kita sudah terbiasa dengan sikap toleransi dengan sesama kita, karena kita tinggal di sebuah negara, yaitu Indonesia yang beragam, karena kalau tidak beragam bukan Indonesia namanya. (Benedicta Vania : Adek Sabang Merauke 2017)

                        

Comments
  • there are no comments yet
Leave a comment