Article Detail
Ketika Belajar Online Menjadi Pilihan
Ketika Belajar Online Menjadi Pilihan
Mewabahnya Covid 19 berimbas pada banyaknya perubahan di berbagai sektor kehidupan. Tak hanya secara global, tapi juga tentu dampak perubahan tatanan hidup juga terjadi di Indonesia. Dampak tidak hanya dirasakan di sektor kehidupan ekonomi maupun sosial, tetapi tentu juga di sektor pendidikan.
Mau tidak mau, proses pembelajaran yang biasanya terjadi secara klasikal di sekolah-sekolah harus menyesuaikan diri dengan situasi pandemi ini. Proses pembelajaran pun beralih dari sekolah ke rumah. Dari kelas konvensional, menjadi kelas online. Tak hanya itu, kondisi ini pun memaksa banyak pihak untuk mulai mengikuti perkembangan teknologi guna mendukung terlaksananya proses pembelajaran berbasis daring atau online. Baik siswa, guru, maupun orang tua siswa dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan pembelajaran berbasis online atau daring tersebut.
Menjadi sebuah tantangan tersendiri karena mayoritas dari kita tentunya lebih banyak memanfaatkan gawai yang kita miliki hanya sebagai saran komunikasi; mendekatkan yang jauh. Namun di tengah situasi pandemi ini, maka seluruh pihak harus mau belajar lebih banyak untuk menjadikan gawai, yang sebagian besar berupa telepon genggam berbasis android atau IOS, sebagai sarana pembelajaran jarak jauh berbasis daring. Berbagai aplikasi harus diunduh dan digunakan sebagai sarana pembelajaran, diantaranya Google Drive dan ZOOM Cloud Meeting. Tak hanya sekadar mengunduh, bapak ibu guru pun harus mempelajari penggunaan nya dan segala seluk beluknya, agar dapat dimanfaatkan secara maskimal dalam pendampingaan dan pelayanan pembelajaran bagi para peserta didik yang berada di rumah.
Proses Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang dilaksanakan di Tarakanita ini memberikan pengalaman menarik tersendiri bagi saya selaku guru mata pelajaran dan wali kelas bagi 32 orang peserta didik kelas VII A yang harus saya layani. Dari keseluruhan proses yang saya jalani, saya merangkumnya menjadi 3 pengalaman berharga.
Pertama, pembelajaran jarak jauh ini sukses menyita hampir keseluruhan waktu saya untuk melakukan pendampingan tak hanya kepada 32 peserta didik yang menjadi tanggung jawab saya, tapi juga bagi seluruh peserta didik yang saya ajar. Selama masa PJJ ini, saya mulai mengerti bahwa istilah “24 jam terasa kurang” itu benar-benar ada. Ya, 24 jam pendampingan itu terasa kurang. Namun, satu hal pembelajaran yang bisa saya petik adalah bahwa seperti inilah hakikatnya nanti jika saya menjadi seorang ibu bagi putra putri saya. Pendampingan 24 jam itu ternyata titik tumpu nya ada di dalam Keluarga. Dengan PJJ ini saya menyadari, betapa berat tugas orang tua dan keluarga di rumah untuk mendampingi putra putri mereka dalam belajar. Sementara saya yang hanya bermodalkan gawai, mendampingi, dan memantau para peserta didik saja sudah merasakan betapa beratnya tugas pendampingan di rumah. Tak hanya sekadar mengajar. Sebagai wali kelas contohnya, saya pun turut serta membangunkan mereka di pagi hari, mengabsen sebelum PJJ berlangsung, menghubungi orang tua dan siswa bersangkutan jika belum absen, mengingatkan mereka untuk tidur tepat waktu, memberikan penguatan dan semangat melalui pesan suara, mengingatkan mereka untuk makan dan istirahat setelah proses pembelajaran dan pengerjaan tugas selesai, dan tentunya juga mengingatkan mereka untuk menyelesaikan tugas tepat waktu. Seperti inilah situasi yang dihadapi para orang tua di rumah dalam pendampingan terhadap peserta didik. Dari proses ini saya makin paham, bahwa Keluarga menjadi pemegang peran terbesar dalam proses pembelajaran dan perkembangan peserta didik sehari-hari. Pendidikan pertama dan utama adalah di dalam keluarga.
Kedua, proses pembejalaran jarak jauh ini berdampak pada hubungan kekerabatan saya yang semakin dekat dengan para siswa. Diskusi dan tanya jawab perihal tugas dan materi pembelajaran, secara tidak langsung sudah membangun kekerabatan yang lebih intim antara guru dan siswa. Bukan kekerabatan yang kaku, tetapi kekerabatan yang luwes dan menyenangkan. Saya yang lebih banyak bersikap tegas ketika pembelajaran di kelas, menjadi menyesuaikan diri untuk lebih humoris dan intim secara sosial dengan peserta didik yang berkomunikasi dengan saya. Saya sangat menyadari, dijejali dengan materi dan tugas setiap hari tanpa bisa bertatap muka dan bertanya langsung dengan bapak ibu guru, tentunya menjadi hal yang tidak mudah bagi sebagian peserta didik. Disinilah peran guru bisa berganti menjadi sahabat yang memasuki dunia para siswa. Sebagai contoh, beberapa kali melalui grup kelas saya mengajak para peserta didik bercanda dan tertawa melalui jokes yang saya bagikan, bermain tebak-tebakan, membicarakan hal-hal yang up-to-date, menjadi segelintir contoh topik yang bisa kami obrolkan bersama di grup WhatsApp kelas VII A. Dan saya merasakan hal ini efektif untuk lebih mendekatkan diri pada peserta didik dan sedikit mengobati kejenuhan mereka dalam mengahadapi proses pembelajaran seperti ini.
Ketiga. Secara tidak langsung, PJJ ini sukses “memaksa” saya menelurkan ide-ide baru dan kreativitas dalam hal pemberian materi serta tugas untuk para peserta didik. Pemberian materi dan tugas harus dikemas menjadi lebih menarik. Bahkan saya pun kerap mendapatkan ide untuk memberikan tugas yang berkaitan dengan media sosial yang akrab dengan dunia anak remaja saat ini. Hal ini bertujuan agar peserta didik tidak jenuh dengan tipikal tugas yang monoton, seperti mengerjakan sejumlah soal, merangkum, menulis, dan lain lain. Diharapkan juga peserta didik dapat lebih ‘santai tapi pasti’ dalam mengerjakan tugas yang sifatnya fun. Salah satu yang paling efektif adalah dengan memanfaatkan keberadaan media sosial dan aplikasi video editing yang sudah cukup akrab dengan sebagian besar peserta didik sebagai sarana pengerjaan tugas berbasis daring.
Namun, PJJ bukan tanpa kendala. Tentu ada banyak kendala yang harus dihadapi tak hanya oleh guru tapi juga oleh peserta didik dan orang tua. Lemahnya jaringan internet, bertambahnya budgeting yang harus disiapkan untuk pembelian kuota internet, serta keterbatasan ketersediaan gawai di rumah menjadi sebagian kendala yang harus dihadapi. Belum lagi masih sulitnya beberapa peserta didik memahami materi pembelajaran serta masih banyaknya peserta didik yang terlambat dalam pengumpulan tugas.
Inilah proses yang harus dihadapi di tengah situasi yang berubah drastis akibat pandemi yang mewabah di Indonesia. Kita harus siap dan selalu siap dengan segala bentuk perubahan. Semoga wabah Covid 19 ini segera berakhir dan semua sektor kehidupan berangsur pulih.
Salam sehat! Salam Semangat! Tetap #dirumahaja.***Ariesty N
-
there are no comments yet